RESUME FSIKOLOGI AGAMA
KELAS XII IPS2
BAB I
PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
A.
Pengertian Psikologi Agama
Dengan melihat pengertian
psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa
psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah
kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada
umumnya. Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang
bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap,
berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,
karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
B. Objek Kajian Psikologi Agama
Yang menjadi objek dan lapangan psikologi agama adalah
menyangkut gejala- gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan
(amaliah) dan mekanisme antara keduannya. Dengan kata lain, meminjam istilah
Zakiah Daradjat, psikologia agama membahas tentang kesadaran agama (religious
counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Dengan demikian,
yang menjadi lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan
dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan
sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan psikologi agama adalah
gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan,
kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya
secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya.
C. Metode Penelitian Psikologi Agama
Diantara metode yang digunakan dalam mengkaji psikologi agama adalah :
1. Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama. Untuk mengetahui informasi tentang hal ini maka dikumpulkan dokumen pribadi seseorang. Dokumen tersebut dapat berupa autobiorafi, biografi atau catatan- catatan yang dibuatnya.
Metode dokumentasi tersebut dalam penerapannya dapat digunakan beberapa teknik, antara lain:
a. Teknik Nomotatik
Pendekatan ini antara lain digunakan untuk mempelajari perbedaan- perbedaan individu. Sementara dalam psikologi agama, teknik nomotatik ini antara lain untuk melihat sejauh mana hubungan sifat dasar manusia dengan sikap keagamaan.
b. Teknik Analisis Nilai (value analysis)
Teknik ini digunakan dalam kaitannya dengan statistik. Data- data yang telah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap individu yang diteliti.
c. Teknik Ideography
Teknik ini hampir sama dengan teknik nomotatik, yaitu pendekatan guna memahami sifat dasar manusia. Bedanya, teknik ini lebih menekankan antara sifat- sifat dasar manusia dengan keadaan tertentu dan aspek- aspek kepribadian yang menjadi ciri khas masing- masing individu dalam rangka memahami seseorang.
d. Teknik Penilaian terhadap Sikap (evaluation attitudes technique)
Teknik ini digunakan dalam penelitian biografi, tulisan atau dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan diteliti.
2. Angket dan
Wawancara
Metode angket dan wawancara digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama pada orang yang masih hidup. Metode ini misalnya, dapat digunakan untuk mengetahui prosentase tentang apa yang diyakini orang pada umumnya tentang sikap beragama, ketekunan beragama dan sebagainya
a. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (public opinion polls)
Cara yang dilakukan melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai
b. Skala Penilaian (ratting scale)
Metode ini antara lain digunakan untuk memperoleh data tentang faktor- faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
c. Tes
Metode tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu
d. Eksperimen
Eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e. Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi, yaitu dengan mempelajari sifat- sifat manusiawi orang perorang atau kelompok
f. Pendekatan terhadap Perkembangan
Pendekatan ini digunakan guna meneliti asal- usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianut.
g. Metode Klinis dan Proyektivitas
Metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dengan agama.
h. Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus- kasus tertentu.
Metode angket dan wawancara digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama pada orang yang masih hidup. Metode ini misalnya, dapat digunakan untuk mengetahui prosentase tentang apa yang diyakini orang pada umumnya tentang sikap beragama, ketekunan beragama dan sebagainya
a. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (public opinion polls)
Cara yang dilakukan melalui pengumpulan pendapat khalayak ramai
b. Skala Penilaian (ratting scale)
Metode ini antara lain digunakan untuk memperoleh data tentang faktor- faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
c. Tes
Metode tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan seseorang dalam kondisi tertentu
d. Eksperimen
Eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
e. Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sosiologi, yaitu dengan mempelajari sifat- sifat manusiawi orang perorang atau kelompok
f. Pendekatan terhadap Perkembangan
Pendekatan ini digunakan guna meneliti asal- usul dan perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan agama yang dianut.
g. Metode Klinis dan Proyektivitas
Metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dengan agama.
h. Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen, catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus- kasus tertentu.
i. Survei
Metode ini biasanya digunakan untuk penelitian sosial yang bertujuan untuk penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat
Metode ini biasanya digunakan untuk penelitian sosial yang bertujuan untuk penggolongan manusia dalam hubungannya dengan pembentukan organisasi dalam masyarakat
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
A. Psilkologi Agama Dalam Lintasan Sejarah
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab- kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama. Dalam Al Qur’an misalnya, terdapat ayat- ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang- orang yang beriman atau sebaliknya, orang- orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Disamping itu juga terdapat ayat- ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa.
Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi. Dalam kitab- kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama atau dalam agama Shinto yang memitoskan kaisar jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehinga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam Perang Dunia II demi kaisar.
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab- kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama. Dalam Al Qur’an misalnya, terdapat ayat- ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang- orang yang beriman atau sebaliknya, orang- orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Disamping itu juga terdapat ayat- ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa.
Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi. Dalam kitab- kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan, seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama atau dalam agama Shinto yang memitoskan kaisar jepang sebagai keturunan matahari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada kaisar, sehinga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam Perang Dunia II demi kaisar.
B. Pendekatan Ilmiah Dalam Psikologi Agama
Dalam perkembangannya, psikologi
agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara umum tapi juga masalah- masalah
khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama misalnya, dikupas oleh B. Pratt
dalam bukunya theReligious Consciousness, sedangkan Rudolf Otto membahas
sembahyang. Perkembangan beragama pun tidak luput dari kajian para ahli
psikologi agama. Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang
membahas tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama pada
anak- anak tidak beada dengan agama pada orang dewasa. Pada anak- anak dimana
mungkin dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam menyaksikan alam
ini, adanya kebaikanyang tak terlihat, kepercayaan akan kesalahan dan sebagian
dari pengalaman itu merupakan fakta- fakta asli yang tidak dipengaruhi oleh
lingkungan.
C. Kajian Psikologi Agama Di Kawasan Timur
Dalam Dunia Timur tidak mau ketinggalan. Abdul Mun’in Abdul Aziz al Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak- anak dan remaja. Sementara didaratan anak benua Asia dan India juga terbit buku- bukuyang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: The Song of God: Baghavad Gita. Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah: Ilmu Jiwa Agama oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Jiwa oleh prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djami’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari dan sebagainya. Dalam bukuyang disebut terakhir misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi membahas pula aspek- aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.
Dalam Dunia Timur tidak mau ketinggalan. Abdul Mun’in Abdul Aziz al Malighy misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada anak- anak dan remaja. Sementara didaratan anak benua Asia dan India juga terbit buku- bukuyang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul buku berikut pengarangnya antara lain: The Song of God: Baghavad Gita. Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah: Ilmu Jiwa Agama oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Agama dan Kesehatan Jiwa oleh prof. Dr. Aulia (1961), Islam dan Psikosomatik oleh S.S. Djami’an, Pengalaman dan Motivasi Beragama oleh Nico Syukur Dister, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa oleh Dadang Hawari dan sebagainya. Dalam bukuyang disebut terakhir misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai kedokteran jiwa, akan tetapi membahas pula aspek- aspek agama atau spiritual dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.
BAB III
SUMBER JIWA AGAMA
A. Sumber Jiwa Agama Menurut Para Ahli
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan . Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini antar lain:
a. Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia butuh atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c. Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah faktor non rasional yang dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous) sebagai perasaan takjub, kagum yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”. Perasaan ini diistilahkan sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan menarik.
d. Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama adalah libido sexual. Ide ini berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan Dedipoes pada ayahnya karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu timbul perasaan bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan, sebagai bentuk awal kepercayaan pada Tuhan.
2. Teori Fakulty.
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah konflik batin. Dalam kehidupan manusia terus didera berbagai masalah yang membuat batin mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika perasaan ini telah memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari pertolongan pada “Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b. Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui agama.
c. W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman. Kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
SUMBER JIWA AGAMA
A. Sumber Jiwa Agama Menurut Para Ahli
Sumber jiwa agama menurut para ahli dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu yang berpandangan monistik dan yang berpandangan fakulty.
1. Teori Monistik
Menurut teori monistik, bahwa sumber jiwa beragama adalah tunggal atau terdapat satu hal yang dominan . Pendapat para ahli yang masuk dalam teori ini antar lain:
a. Thomas van Aquino
Thomas Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber jiwa agama adalah berpikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan pikirannya.
b. Frederick Scheilmacher
Sumber jiwa agama berasal dari rasa ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak (sense of Depend) . Dengan adanya ketergantungan kepada Yang Maha Mutlak, manusia jadi lemah. Karena itu manusia butuh atau bergantung pada sesuatu yang berada di luar dirinya, yaitu Tuhan.
c. Rudolf Otto
Ia berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah faktor non rasional yang dipengaruhi perasaan ketuhanan (nominous) sebagai perasaan takjub, kagum yang hebat dihadapan “Yang Sepenuhnya Lain”. Perasaan ini diistilahkan sebagai Mysterium tremendum yaitu perasaan takut dan menarik.
d. Sigmun Fred
Pendapatnya mengenai sumber jiwa agama adalah libido sexual. Ide ini berasal dari mitos Yunani kuno, yaitu pembunuhan Dedipoes pada ayahnya karena menghalangi hasratnya pada ibunya. Setelah itu timbul perasaan bersalah. Untuk menghilangkannya, ia melakukan pemujaan, sebagai bentuk awal kepercayaan pada Tuhan.
2. Teori Fakulty.
Menurut teori ini, sumber jiwa agama tidak timbul dari satu faktor saja. Tetapi berasal dari berbagai unsur. Unsur yang dianggap paling berpengaruh adalah cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Tokoh dari teori ini antara lain:
a. G.M. Straton
Beliau berpendapat bahwa sumber jiwa agama adalah konflik batin. Dalam kehidupan manusia terus didera berbagai masalah yang membuat batin mengalami kecemasan, rasa bingung, takut dll. Ketika perasaan ini telah memuncak dan tak mampu diselesaikan, ia akan mencari pertolongan pada “Sesuatu Yang Maha Mampu” yaitu Tuhan.
b. Zakiah Drajat
Selain kebutuhan jasmani, manusia juga memiliki kebutuhan rohani, antara lain kebutuhan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan rasa harga diri, kebutuhan rasa bebas, kebutuhan rasa sukses, dan kebutuhan rasa ingin tahu. Semua kebutuhan tersebut dapat tersalurkan melalui agama.
c. W.H. Thomas
Melalui teori Faur Wishes, ia mengemukakan yang menjadi sumber jiwa agama adalah empat macam keinginan untuk selamat, mendapat penghargaan, ditanggapi dan pengetahuan atau pengalaman. Kesemuanya itu dapat dipenuhi melalui agama.
B. Sumber Jiwa Agama Menurut Islam
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di dalam Al-qur’an sumber jiwa agama dapat ditemukan dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang berarti: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum:30).
Ayat tersebut menyatakan bahwa secara fitrah, manusia adalah makhluk beragama. Secara naluri manusia pada hakikatnya selalu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Walaupun secara dhohir ada beberapa golongan yang tidak
mengakui adanya Tuhan (atheis), tetapi itu hanya pernyataan lisan. Secara
hakiki ia tetap meyakini adanya kekuatan di luar kekuatannya yang tidak mungkin
dilampaui dan memiliki kekuatan Yang Maha. Menurut Nurcholis Majid, agama
merupakan fitrah munazal yang diturunkan Allah untuk menguatkan fitrah yang
telah ada secara alami. Dengan fitrah ini manusia tergerak untuk melakukan
kegiatan atau ritual yang diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, yang berbentuk
upacara ritual, kegiatan kemanusiaan, kegiatan berfikir dll.
Dalam manusia
juga terdapat naluri untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Keinginan ini tidak
mungkin dapat terpenuhi kecuali melalui kegiatan beragama. Bahkan naluri ini
memiliki porsi yang cukup besar dalam jajaran naluri yang dimiliki manusia.
Menurut Quraish Shihab , sumber jiwa agama seseorang
bersumber dari penemuan rasa kebenaran, keindahan d kebaikan. Hal ini dapat
dijabarkan sebagai berikut. Ketika manusia memperhatikan keindahan alam, maka
akan timbul kekaguman. Kemudian menemukan kebaikan pada alam semesta yang
diciptakan untuk manusia. Kemudian manusia mencari apa yang paling indah,
paling benar d paling baik yang pada akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah Tuhan.
C. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas .
C. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas .
D. AGAMA PADA MASA ANAK- ANAK
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat
kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang
saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan
ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi
meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan
butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga,
butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan
anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran
tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan
sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat
dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan
takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya
mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun
keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan
hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
E. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a) Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b) Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c) Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d) Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
F. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
G. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.Mengislamkannya atau mengkhitankannya.
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak. Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
• Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
• Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
• Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiridengan membaca Hamdalah.
E. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a) Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b) Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c) Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d) Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
F. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
G. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Masa Ank-anak.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.Mengislamkannya atau mengkhitankannya.
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun.
Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan. Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak. Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
• Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
• Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
• Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiridengan membaca Hamdalah.
BAB III PERKEMBANGAN JIWA PADA MASA REMAJA
1. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Remaja
Pada hakekatnya masa remaja yang utama adalah masa menemukan diri, meneliti sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk jadi pribadi yang dewasa.
Para ahli psikologi dan pendidikan belum sepakat mengenai rantang usia remaja. Ada yang berpendapat bahwa usia remaja adalah 13-19 tahun, sementara yang lain berpendapat usia remaja dimulai pada usia 13-21 tahun. Namun yang pasti adalah permulaan atau mulainya perubahan pada anak menjadi dewasa kira-kira usia 12 atau 13 tahun. Masalah akhir masa remaja tidak sama. Si daerah pedesaan, masa remaja mempunyai rentang yang lebih pendek dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Dalam bidang agama, para ahli psikologi agama menganggap bahwa kemantapan beragama biasanya tidak terjadi sebelum usia 24 tahun, dari sini rentang masa remaja mungkin diperpanjang hingga 24 tahun.
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negative
Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.
c. Fase Pubertas
Masa ini yang dinamakan dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini, Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
a. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
b. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
c. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
d. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)
Pada dasarnya remaja telah membawa potensi beragama sejak dilahirkan dan itu nerupakan fitrahnya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana remaja mengembangkan potensi tersebut.
Ide-ide agama, dasar dan pokok-pokok agama pada umumnya diterima seseorang pada masa kecilnya. Apa yang diterima sejak kecil, akan berkembang dan tumbuh subur, apabila anak(remaja) dalam menganaut kepercayaan tersebut tidak mendapat kritikan. Dan apa yang tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.
Perkembangan intelektual remaja akan mempunyai pengaruh terhadap keyakinan dan kelakuan agama mereka. Fungsi intelektual akan memproses secara analisis terhadap apa yang dimiliki selama ini, dan apa yang akan diterima. Remaja sudah mulai mengadakan kritik id sana sini tentang masalah yang diterima dalam kehidupan masyarakat, mereka mulai mengembangkan ide-ide keagamaan, walaupun hal tersebut kadang-kadang tidak berangkat dari suatu perangkat keilmuan yang matang, tetapi sebagai akibat dari keadaan psikis mereka yang sedang bergejolak. Dalam bidang-bidang tertentu yang dianggap cocok dan releven akan diterimanya, kemudiandengan kemauan keras dijabarkan dalam kenyataan hidupnya seolah-olah tidak ada alternatif lagi yang harus dipikirkan .
Keadaan emosi remaja yang belum stabil juga akan mempengaruhi keyakinannya pada Tuhan dan pada kelakuan keberagamaannya, yang mungkin bisa kuat atau lemah, giat atau menurun, bahkan mengalami keraguan, yang ditandai oleh adanya konflik yang terdapat dalam dirinya atau dalam lingkungan masyarakatnya.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman, persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan-perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang-kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa sebenarnya perasaan remaja dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat cintadan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang.
2. Motivasi Beragama Pada Remaja
Motivasi beragama dapat diartikan sebagai usaha yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu, atau usaha yang menyebebkan seseorang beragama.
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi menjadi empat motivasi, yaitu:
a. Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
b. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
c. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
d. Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
Motivasi yang ditawarkan oleh Nico Syukur Dister tersebut agaknya sesuai dengan masa remaja,mengingat masa remaja merupakan masa yang labil, belum stabil emosinya. Memang motivasi tersebut merupakan motivasi yang masuk kedalam katagorirendah dalam kehidupan manusia, bahkan motivasi yang dituntut untuk dimiliki oleh semua agama.
Masa remaja juga merupakan masa dimana remaja mulai mengurangi hubungan dengan orang tuannya dan berusaha untuk dapat berdiri sendiri dalam menghadapi segala kenyataan-kenyataan yang ada. Semuanya ini menyebabkannya berusaha mencari pertolongan Allah Swt. Keyakinan remaja pada masa awal bukanlah berupa keyakinan-keyakinan pikiran, akan tetapi lebih berfokus pada kebutuhan jiwa. Hal ini dapat dilihat dari doa-doa remaja yang memohon bantuan Allah supaya terlepas dari gejolak jiwanya sendiri dan tertolong dalam menghadapi naluri-nalurinya.
Motivasi beragama pada remaja juga dipengaruhi oleh teman-temanya. Sebagai contoh apabila remaja mengikuti kegiatan dalam kelompok aktivitas keagamaan, maka ia akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun bila ia bersahabat debgab teman yang tidak mengindahkan agama, ia akan acuh terhadap kegiatan keagamaan.
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa motivasi beragama dalam diri remaja adalah bermacam-macam dan banyak yang bersifat personal. Adakalanya didorong oleh kebutuhan akan Tuhan sebagai pengendali emosional, adakalanya karena takut akan perasaan bersalah, dan pengaruh dari teman-teman di mana ia berkelompok.
3. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
a. Percaya ikut- ikutan
Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
b. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut-ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
1) Dalam bentuk positif
Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
2) Dalam bentuk negative
Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
1) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
2) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
d. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
BAB IV
AGAMA PADA MASA DEWASA DAN USIA LANJUT
A.
Pengertian
dan Ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
B. Karakteristik Sikap Keberagamaan pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C. Masalah-Masalah Keberagamaan pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut :
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
D. Manusia Usia Lanjut dan Agama
Pada tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengetatkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan dengan orang lain ( Rit Atkinson,1983 : 97).
Mereka yang menginjak usia ini (sekitar 25-40 Th) memiliki kecenderungan besar untuk berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan denganlatar belakang kehidupannya .
Selajutnya pada tingkat kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia yang paling produktif . Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada usia ini terjadi krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju pada upaya untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
Adapun di usia selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat.
Adapun sikap keberagamaan pada usia lanjut justru mengalami peningkatan dan untuk proses seksual justru mengalami penurunan .
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah :
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan .
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan usia yang bertambah lanjut .
E. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh pengaruh psikologis. Di satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan. Sebaliknya di pihak lain, memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin.
Apabila gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi, maka muncul gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti ini, umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengamalan agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat di masyarakat akhir-akhir ini .
Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua ,Allah menyatakan :
Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu , maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .(Qs 17 : 23)
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan.
B. Karakteristik Sikap Keberagamaan pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
C. Masalah-Masalah Keberagamaan pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut :
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
D. Manusia Usia Lanjut dan Agama
Pada tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengetatkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan dengan orang lain ( Rit Atkinson,1983 : 97).
Mereka yang menginjak usia ini (sekitar 25-40 Th) memiliki kecenderungan besar untuk berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan denganlatar belakang kehidupannya .
Selajutnya pada tingkat kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia yang paling produktif . Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada usia ini terjadi krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju pada upaya untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
Adapun di usia selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat.
Adapun sikap keberagamaan pada usia lanjut justru mengalami peningkatan dan untuk proses seksual justru mengalami penurunan .
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah :
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan .
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan usia yang bertambah lanjut .
E. Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L . Atkinson, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh pengaruh psikologis. Di satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan. Sebaliknya di pihak lain, memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin.
Apabila gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi, maka muncul gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti ini, umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengamalan agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat di masyarakat akhir-akhir ini .
Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua ,Allah menyatakan :
Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu , maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia .(Qs 17 : 23)
BAB V
ORANG YANG MATANG BERAGAMA
A. Kriteria Orang yang Matang dalam
Beragama
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau
memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan
nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan
beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious
Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan
itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:[4]
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick
Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan
orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar
belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini
suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan
beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga
menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara
normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin
antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab
lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka
yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:[5]
- Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka
cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
- Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk
bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya
dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
- Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan
introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk
menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa
(Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat
jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya
Religion Psychology adalah:[6]
- Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala
bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah
sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk
musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang
dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
- Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki
orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan
buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
- Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang
ekstrovet maka mereka cenderung;
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak
kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang
lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap
kepentingan agama secara sosial.
BAB V
KONVERSI AGAMA
1. Pengertian Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat di artikan dengan
berubah agama ataupun masuk agama. Menurut Thouless (1992), konversi agama adalah
istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada
penerimaan suatu sikap keagamaan, proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara
tiba-tiba.
Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari
kata latin “conversio” yang berarti tobat pindah, berubah (agama).
Ada beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain:
a. Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b. Clark (dalam Daradjat, 1979), memberikan definisi konversi sebagai
berikut: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan
spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap
terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi
agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat
hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat
mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara
berangsur-angsur.
Ciri-ciri seseorang melakukan konversi agama, menurut Ramayulis (2002) adalah :
a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
b. Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berperoses atau secara mendadak.
c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan
dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang di anutnya sendiri.
d. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun
disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa.
a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
b. Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berperoses atau secara mendadak.
c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan
dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang di anutnya sendiri.
d. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun
disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa.
Menurut Moqsith jenis-jenis konversi agama di bedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
b. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain.
a. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
b. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama ke agama lain.
BAB VI
MISTISISME DAN FSIKOLOGI AGAMA
- Pengertian mistisisme
Mistisisme dijumpai dalam semua agama, baik
agama teistik (islam, kristen dan yahudi) maupun dikalangan mistk nonteistik (misalnya
penganut agama buddha). Menurut Prof. Harun Nasution, dalam tulisan Orientalis
Barat, mistisisme yang dalam islam adalah tasawuf disebut sufisme. Sebutan ini
tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme
islam (Harun Nasution, 1973:56).
Sebagaimana halnya mistisisme,
tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan.
Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi atau dialog antara roh
manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun
Nasution, 1972:56)..
Dengan demikian, mitisisme menurut pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun nonteistik.
Latar Belakang Sejarah Perkembangan Timbulnya Mistisisme :
1. Sejarah Perkembangan Aliran Kepercayaan
Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi, benda organis dan anorganis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang berada disekitarnya.
Didorong oleh keinginan untuk mempertahankan hidupnya, maka timbul keinginan mereka untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan dan membinasakan mereka. Berdasarkan kondisi sosial budaya yang mereka miliki dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan kekuasaan gaib sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan gaib.
Diciptakanlah mantera-mantera yang dianggap sakti untuk menguasai, menangkal atau membinasakan kekuatan gaib alamiah itu. Perkembangan itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi perdukunan.
2. Hal-Hal yang Termasuk Mistisisme
a. Ilmu Gaib
Yang dimaksud dengan ilmu gaib disini adalah cara-cara dan maksud mengunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada di alam gaib, yaitu yang tidak dapat diamati oleh rasio dan penngalaman fisik manusia.
Dengan demikian, mitisisme menurut pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun nonteistik.
Latar Belakang Sejarah Perkembangan Timbulnya Mistisisme :
1. Sejarah Perkembangan Aliran Kepercayaan
Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi, benda organis dan anorganis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang berada disekitarnya.
Didorong oleh keinginan untuk mempertahankan hidupnya, maka timbul keinginan mereka untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan dan membinasakan mereka. Berdasarkan kondisi sosial budaya yang mereka miliki dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan kekuasaan gaib sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan gaib.
Diciptakanlah mantera-mantera yang dianggap sakti untuk menguasai, menangkal atau membinasakan kekuatan gaib alamiah itu. Perkembangan itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi perdukunan.
2. Hal-Hal yang Termasuk Mistisisme
a. Ilmu Gaib
Yang dimaksud dengan ilmu gaib disini adalah cara-cara dan maksud mengunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada di alam gaib, yaitu yang tidak dapat diamati oleh rasio dan penngalaman fisik manusia.
Berdasarkan fungsinya kekuatan gaib itu dapat
dibagi menjadi:
1) Kekuatan gaib hitam (black-magic), untuk dan mempunyai pengaruh jahat.
2) Kekuatan gaib merah (red-magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan orang lain (hypnotisme)
3) Kekuatan gaib kuning (yellow-magic), untuk praktik occultisme
4) Kekuatan gaib putih (white-magic), untuk kebaikan
b. Magis
Untuk menjelaskan hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya:
1) Magic dan takhayul
Orang percaya bahwa membunuh seseorang dapat dipergunakan bagian yang berasal dari tubuh orang yang dimaksud. Misalkan, untuk membunuh musuh dengan cara membakar rambut atau kukunya.
2) Magis dan ilmu gaib
jika kita pergunakan contoh di atas, maka mempercayai kemampuan membunuh dengan menggunakan keampuhan rambut dan kuku melalui suatu proses penglahan tertentu secara irasional tergolong ilmu gaib
3) Magis dan kultus
4) Dan dianggap mempnyai kekuatan memaksa kehendak kepada supernatural (tuhan). Kultus merupakan perbuatan yang terbatas pada mengharap dan mempengaruhi supernatural (tuhan).
1) Kekuatan gaib hitam (black-magic), untuk dan mempunyai pengaruh jahat.
2) Kekuatan gaib merah (red-magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan orang lain (hypnotisme)
3) Kekuatan gaib kuning (yellow-magic), untuk praktik occultisme
4) Kekuatan gaib putih (white-magic), untuk kebaikan
b. Magis
Untuk menjelaskan hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya:
1) Magic dan takhayul
Orang percaya bahwa membunuh seseorang dapat dipergunakan bagian yang berasal dari tubuh orang yang dimaksud. Misalkan, untuk membunuh musuh dengan cara membakar rambut atau kukunya.
2) Magis dan ilmu gaib
jika kita pergunakan contoh di atas, maka mempercayai kemampuan membunuh dengan menggunakan keampuhan rambut dan kuku melalui suatu proses penglahan tertentu secara irasional tergolong ilmu gaib
3) Magis dan kultus
4) Dan dianggap mempnyai kekuatan memaksa kehendak kepada supernatural (tuhan). Kultus merupakan perbuatan yang terbatas pada mengharap dan mempengaruhi supernatural (tuhan).
c. Kebatinan
Menurut pendapat Prof.Djojodiguno, S.H. berdasarkan hasil penelitiannya di indonesia, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:
1) Golongan yang hendak menggunakan kekuatan gaib untuk melayani berbagai kepeluan manusia (ilmu gaib)
2) Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan tuhan selama manusia itu masih hidup agar manusia itu dapat merasakan dan mengetahui hidup di alam baka sebelum manusia itu mengalami mati
3) Golongan yang berniat mengenal tuhan (selma manusia itu masih hidup) dan menebus dalam rahasia ke-tuhanan sebagai tempat asal dan kembalinya manusia
4) Golongan yang berniat untuk menempuh budi luhur di dunia serta berusaha menciptakan masyarakat yang saling harga-menghargai dan cinta-mencintai dengan senantiasa menginddahkan perintah-perintah tuhan
d. Para Psikologi
Menurut ilmu jiwa, gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:
1) Gejala jiwa yang normal, yang terdapat pada orang yang normal
2) Gejala jiwa yang abnormal terdiri dari:
a) Gejala jiwa supranormal
b) Gejala jiwa paranormal
c) Gejala jiwa abnormal
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugrah yang Maha Kuasa tanpa dipelajari, sehingga mempunyai kemampuan melebihi gejala jiwa orang yang normal, berupa:
1) Kemampuan mengetahui sesuatu peristiwa sebelum terjadi
2) Kemampuan perubahan-perubahan tanpa menggunakan kekuatan yang terdapat dalam fisik
e. Aliran Kebatinan dan Schizoprenia
Akibat psikologis lainnya dari aliran kebatinan dapat berupa:
1) Pemimpin terlalu terlibat secara emosional terhadap pengikutnya: jatuh cinta, free sex, dan lain-lain
2) Pemimpin cenderung untuk membiarkan individu tergantung pada karismanya yang mungkin mengarah kepada kultus individu
3) Sering terjadi unsur eksploitasi dari pribadi-pribadiyang mengidap paranoida yang ingin menarik simpati
4) Memungkinkan terjadinya depresi yang menjurus ke arah pengorbanan diri dan keinginan bunuh diri (suicide)
Menurut Evelyn Underhill stadium meditasi itu umumnya adalah:
1) Kebangunan diri pribadi kearah realitas ke-Tuhanan
2) Purgation, yaitu suatu stadium kesediaan dan usaha
3) Illumination, yaitu stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus ke suatu eksaltasi
4) Purifikasi, yaitu kesempurnaan pribadi. Individu menyadari antara kehadiran Tuhan dengan penyatuan diri dengan Tuhan
5) Persatuan dan kehidupan absolute
Ditinjau dari gejala penderita schizoprenia, maka tampak ciri-ciri yang hampir sama. Penderitaan schizoprenia (schizoprenik) mengalami gejala-gejala:
1) Penderita tak dapat membedakan antara ego dan dunia luar sehingga dalam penghayatan dirinya dan dunia luar menjadi satu
2) Cenderung untuk menafsirkan sesuatu yang kadang-kadang irrealistik dan melakukan tindakan yang asocial
3) Timbulnya halusinasi, sehingga dapat menimbulkan frustasi seta perbuatan nekat
f. Tasawuf dan tarikat
Tasawuf disebut juga mistisisme islam memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Untuk berada dekat dengan tuhan orang harus menempuh jalan yang panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut maqamat. Di antara stasiun-stasiun ini adalah, taubat, faqir, sabar, tawakal, ridha dan fana.
Pelaksanaan tarikat itu diantaranya:
1) Zikir
2) Ratib
3) Muzik
4) Bernafas
Tarikat itu pada mulanya adalah tasawuf kemudian berkembang dengan berbagai paham dan aliran yang dibawa oleh para syaikhnya, melembaga menjadi suatu organisasi yang disebut tarikat. Tasawuf atau mistisisme menurut Harun Nasution, dijumpai dalam setiap agama.
Dalam ajaran islam diakui adanya konsep al-sab’ah min khawariq al-‘adat (keajaiban yang tujuh), yakni: 1) irhasy, 2) mukjizat; 3) karomah; 4) maunah; 5) istidraj; 6) khizlanah; dan 7) sihir. Ketujuhnya disebut keajaiban, karena secara logika proses terjadinya sama sekali berada diluar jangkauan kemampuan akal manusia. Berangkat dari pemahaman konsep dimaksud, maka semua yang menyangkut tujuh hal ini berada di luar kajian empiris.
Kasus-kasus yang sulit diungkapkan secara empiris ini, sering dinilai sebagai menyalahi logika berpikir. Semuanya dianggap berada di luar kawasan kajian ilmiah. Kajian psikologi agama akan mengalami benturan, bila dihadapkan kepada kasus-kasus serupa itu.
BAB VII
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
A. Pengertian Kesehatan
Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) .
B. Ciri-ciri Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri)
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri. (Jahoda, 1980).
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental.
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) .
B. Ciri-ciri Kesehatan Mental
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri)
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri. (Jahoda, 1980).
C. Gangguan Mental
Gangguan mental dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dimasyarakat, perilaku tersebut baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stress, depresi dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan, hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidak wajaran dalam berperilaku ini sesuai dengan Al-Quran (QS. Al-Baqoroh 2:10)
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit [23] lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
[23] yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.
Adapun gangguan mental yang
dijelaskan oleh (A. Scott, 1961) meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada .
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada .
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris
D. Agama dan Kesehatan Mental
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
E. Agama sebagai Terapi
Kesehatan Mental
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya
yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97) Artinya : 97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
[839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(QS Ar Ra’ad 13:28)
Agama sebagai terapi kesehatan mental dalam islam sudah ditunjukkan secara jelas dalam ayat-ayat Al-Quran, di antaranya
yang membahas tentang ketenangan dan kebahagiaan adalah (QS An Nahl 16:97) Artinya : 97. Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
[839] Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
(QS Ar Ra’ad 13:28)
MUZAKKARISSALIM
|

Tidak ada komentar:
Posting Komentar